"Orang-orang yg sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yg harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak." (Aldus Huxley)

Sabtu, 06 April 2013

Cerpen Pertamaku "Lelaki yang tercantik"

Menjadi lelaki yang sesungguhnya sungguhlah banyak persyaratannya. Tak hanya cukup punya jakun yang besar, tubuh berotot dan pernah merasakan mimpi basah, tapi sesungguhnya ada hal yang lebih penting dari sekedar itu. Itulah yang kerap kali dikatakan oleh ketiga kakakku, Radja, Raka dan Wisnu setiap harinya.
Aku memang tak pernah menyalahkan mereka bahkan cenderung aku mengerti maksud mereka. Apa boleh buat karena memang inilah aku. Agni adalah namaku (nama yang aneh buatku karena membuat aib sepanjang hidupku), terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara yang keseluruhannya berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan yang menimpaku sungguhlah tak bisa dijelaskan dengan akal sehat lagi, lantaran sudah sejak dulu sebenarnya ibuku telah mengidam-idamkan lahirnya seorang anak perempuan, namun hal tersebut tak kunjung terwujud hingga lahirlah anak keempat yang tetap saja berjenis kelamin laki-laki. Sialnya dua tahun setelah kelahiranku, ibuku mengalami operasi pengangkatan rahim sehingga mustahil bisa mendapatkan adik bagiku.
Agni adalah nama yang jauh-jauh hari dipersiapkan oleh mamaku sebelum ia menikah. Nama itu juga sama dengan nama calon anak sahabat karibnya semasa remaja dulu. Sampai saat ini, aku tak mengerti apa bagusnya nama itu. Sebagai sosok laki-laki yang dibesarkan layaknya seorang anak perempuan, membuat hidupku lebih menyenangi hal-hal yang tidak disukai oleh ketiga kakakku dan para lelaki normal lainnya. Aku lebih sensitif, lemah lembut, manja, penurut, penyayang, benci kecoa, suka memasak dan warna merah jambu. Bahkan untuk kesukaan akan warna merah jambuku itu, aku punya kisah tersendiri.
Sejak awal rumah kami dibangun, mama sudah menyiapkan sebuah kamar dengan nuansa merah jambu yang menjadi ornamen seluruh isi kamar anaknya dan sialnya itulah kamar yang saat ini aku tempati. Sebenarnya aku telah meminta, merengek, memaksa, memberontak bahkan memohon kepada mama, bukan satu atau dua kali aku ingin merombak habis isi kamarku bahkan telah kelu lidahku rasanya menyampaikan aspirasiku ini, namun semua perjuangan itu kerap kali berakhir tragis dengan rasa tak tega terhadap mama. Mama selalu saja berlindung dibalik air matanya. Aku yang ada dihadapannya sudah tentu adalah sosok laki-laki yang lemah hatinya, aku sungguh tak tahan dengan air mata. Apalagi ia ibuku sendiri.
Selalu saja aku merasa serba salah. Kadang aku mengganggap telah menjadi korban yang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak juga kepada mama, papa, Radja, Raka, Wisnu atau Tuhan sekali pun. Baktiku sebagai seorang anak, ketidaktegaanku dan rasa sayang yang sangat mendalam kepada mamaku membuatku terpuruk dengan keadaanku ini.
Papa adalah seorang kontraktor sukses. Radja adalah seorang mahasiswa tingkat tiga teknik mesin ITB, Raka adalah atlet taekwondo nasional dan Wisnu adalah playboy kelas kakap di sekolahnya. Namun aku sendiri hanya hebat dalam hal memasak dan juara dalam hal melahap buku. Jika diukur dari segi otak, aku memang unggul namun keunggulanku itu tak menguatkan aku dalam posisi sebagai lelaki hebat, sosok lelaki macho yang senantiasa diidam-idamkan oleh para perempuan yang sering ditipu mentah-mentah oleh gombalnya Wisnu setiap hari. Sebagai seorang pria, aku telah kalah telak dari mereka.
Sahabatku Rianto, lebih suka menyebutku lelaki cantik karena memang katanya tak wajar rasanya jika ada laki-laki yang hobi memasak, teramat benci dengan kecoa karena katanya menjijikan apalagi ditambah aku suka dengan warna merah jambu yang katanya juga tak kalah menjijikan. Katanya susah untuk menyebutku laki-laki jantan apabila aku tetap pada kesukaanku itu. Aku memang pernah menyangkalnya, aku bilang aku masih tetap suka cewek dan tak pernah sekalipun mencintai laki-laki, jadi aku tak layak dianggap banci atau homoseksual.
“Jangan hanya karena hobiku itu To, kau mengganggapku laki-laki tak jantan!” jawabku sedikit tersinggung suatu ketika.
“Kau jangan tersinggung Ni, bukan itu maksudku…Kau jangan….” jawab Rianto tak selesai dengan kalimatnya.
Itulah argumenku. Kadang dengan sahabatku ini aku memang sedikit keras dan kurang sopan. Dia selalu mengerti aku dan tak pernah mencelaku dengan status merah jambuku itu. Aku sering bertanya dengannya apa yang harus ku perbuat dengan masalahku dan selalu saja ia menyarankan alternatif solusi terbaik bagiku. Setidaknya konsultasi dengan Rianto lebih baik daripada dengan Radja, Raka atau Wisnu.
“Aku mengerti maksudmu To, tapi aku ini manusia yang bisa jengah dengan segala julukan banci dari teman-temanmu itu,” jawabku cepat dengan sedikit emosi.
“Agni, bukan lagi satu atau dua hari aku mengenalmu. Kau teman baikku dan aku mengerti perasaanmu, mereka saja yang tak mengenalmu.”
Butuh sedikit waktu aku mencerna apa yang dikatakan Rianto, berkepala dingin dalam menghadapi setiap masalah barang tentu adalah kepiawaiannya. Aku pun berusaha berpikir tenang.
“Maafkan aku To….aku kadang sering emosian, tapi aku seharusnya bisa membuktikan kepada teman-temanmu itu bahwa aku ini lelaki jantan,” jawabku pelan.
“Kau mau buktikan dengan apa Ni…, Kau akan mengajak berkelahi Leo dan genk-genknya yang sering mengolokmu lalu menunggu mamamu kena serangan jantung mendengarnya” jawabnya membuatku mati kutu.
“Lantas apa aku hanya tinggal diam mereka meledekku seperti itu. Tak hanya genknya Leo tapi juga genk Ratna dan tiga serangkai memuakkan seperti mereka,” terdengar sedikit panas dari jawabanku dan gumam kegeraman dalam hatiku.
“Mereka cewek-cewek tak berotak To. Hanya kenal cowok, mal dan salon saja. Percuma kau menggubris mereka karena akan menambah sakit hatimu saja. Kau tentu tak akan berbuat nekat kepada mereka kan? Lantaran hanya ingin sebuah bukti,” tanya Rianto terlihat asyik dengan bola basketnya.
“Kamu gila apa…emang aku tak ada otak lagi. Aku harus bagaimana kalau begitu?” tanyaku.
“Kau pacari saja si Riani, itu akan dapat menyelesaikan masalah. Kau juga tak jelek-jelek amat walaupun masih lebih ganteng aku,” seringai Rianto.
“Sial kau To….,” hardikku.
Sejak saat itu Aku terus memikirkan saran dari Rianto. Aku memang telah mengatakan berulang kali pada Rianto bahwa aku ini masih suka cewek, namun aku juga maklum tuduhannya itu padaku. Sudah sejak empat tahun lalu semasa kami baru SMP dulu, aku sudah banyak naksir cewek tapi tak satupun sempat aku pacari. Bukan karena aku ditolak terus namun aku malu mengatakan kepada cewek incaranku itu. Inilah kelemahanku. Mungkin aku harus mencobanya pada Riani walaupun hatiku kekeuh menolaknya lantaran takut itu hanya niat pembuktian atas statusku saja.
Tiga bulan sudah kini aku melancarkan misiku atas dasar saran dari Rianto. Hari ini Riani datang bertamu kerumahku. Mau meminjamkan catatan sekaligus minta ajarkan aku pelajaran fisika begitu katanya dari pesan singkat diponselku siang tadi. Pendekatanku dengan Riani memang sedang berlangsung tiga bulan ini, dia sering memintaku mengajarinya beberapa pelajaran sekolah dan sering juga mentraktirku dikantin. Aku pun tahu balas budi, sebatang coklat atau sebuah jepitan rambut sering pula aku hadiahi untuknya, untuk nilai ulangannya yang sukses atau terkadang dalam rangka menyenangkan hatinya saja.
“Siapa yang sore tadi ke rumah Ni?” tanya Raka ketika aku di depan TV.
“Teman sekolah Mas,” jawabku tak niat.
“Namanya siapa? Sudah punya pacar belum dia?” todong Wisnu cepat.
“Riani, Aku nggak tahu,” tercium gelagat playboy Wisnu olehku.
“Emang cakep nggak? Kalo cakep Mas lagi butuh cepat nih,” sambung Radja dari depan game Prince of Persia di laptopnya.
“Vina mantan mas sih lebih cakep. Tapi yang ini manis mas, kulitnya saja hitam manis makin enak dilihat karena ada lesung pipinya,” tambah Raka.
“Wah cocok, cewek begitu tipeku banget,” jawab Radja.
“Tapi itu incaranku Mas….kamu cari yang lain saja,” kata Raka serius.
Langsung saja aku melempar remote TV ke kursi sebelah Raka dan pergi menuju kamarku. Sepeninggalanku hanya tatapan penuh tanya di muka ketiga kakakku “Kenapa dia?”.
Ancaman ketiga kakakku memang ada benarnya. Wisnu yang anak basket populer langsung berhasil mendapatkan nomor ponsel Riani. Radja dan Raka pun diam-diam mencurinya dari ponselku. Aku belingsitan dan uring-uringan, aku tak ingin mereka menjadi saingan terberatku. Seminggu kemudian hubunganku dengan Riani sedikit merenggang lantaran aku selalu menghindarnya. Setiap malam baik Wisnu, Radja atau Raka menelponnya, aku pun sungguh cemas dibuatnya, aku pasti kalah telak lagi. Lagi-lagi Rianto jadi sasaran curhatku.
“Jangan-jangan Riani mendekatiku lantaran ketiga kakakku To”.
“Ah…mungkin itu pikiran sempitmu saja Ni, Aku tahu Riani bukan orang seperti itu. seingatku dia bukan tipe cewek agresif,” jawab Rianto sedikit menenangkan.
Ini bukan pertama kalinya aku jatuh cinta, tapi memang kisahnya sudah berubah. Semua cewek incaranku belum pernah datang kerumahku, bahkan pernah ada cewek incaranku yang tidak tahu namaku sama sekali lantaran aku malu mengenalkan diri. Sekarang ketiga kakakku terang-terangan mendekati Riani. Bahkan Riani sempat datang lagi ke rumahku atas undangan Wisnu. Entah karena keperluan apa, aku tak mengerti. Aku sungguh mengutuk kebodohanku saat ini.
Ini sakit cinta namanya, walau dokter telah menyebutnya tipes. Rasa kesal dengan diri ini dan muak melihat tingkah ketiga kakakku membuatku panas dingin terbaring di tempat tidur. Mamaku panik setengah mati dibuatnya, papa juga begitu hingga aku lebih heran melihatnya. Walaupun aku tak sekuat Raka yang seorang atlet, tapi aku juga jarang sakit.
Rianto datang menjengukku. Tiga jam ia menemaniku ketika mama sedang ada urusan di luar rumah, sambil membawaku sebuah buku humor untuk menghiburku katanya. Dari raut mukanya terlihat ia khawatir dan prihatin dengan sakit cintaku ini. Ia mengusap keningku terlihat ia sungguh khawatir. Aku agak kikuk dibuatnya.
“Kau jangan bermanis-manis denganku, aku tahu akal busukmu. Pasti kau menertawakanku,” tuduhku tajam.
Ia memukul kepalaku dan tertawa sok manja. Rianto kadang susah ditebak alur pemikirannya.
Sore kemudian Riani datang kerumahku, bukan atas undangan siapa pun tapi ia menjengukku. Ia membawakanku cheesecake kesukaanku. Lagi-lagi ia seperti Rianto, teramat khawatir melihat kondisiku. Cewek seperti ini sebenarnya favoritku, ia selalu menenangkanku dan yang penting dia tidak langsung bertanya mengapa akhir-akhir ini aku selalu menghindarinya. Ia pulang setelah berpesan agar aku memakan kuenya. Hari ini pertama kalinya aku merasakan buku-buku lembut tangannya. Ia telah memegang tanganku tadi.
Hari ini sudah kubulatkan tekadku. Pelajaran terakhir hari ini tak ada yang masuk ke otakku. Aku sudah memberitahu Riani melalui pesan singkatku agar menunggu sepulang sekolah. Entah kenapa sekarang aku tidak peduli lagi dengan julukan-julukan banci yang dulu begitu ku benci. Entah perasaanku saja atau yang lain, julukan-julukan itu sekarang mulai berkurang. Aku mulai merasa saran Rianto mulai ada titik terangnya.
Sedikit malu-malu dan dengan terbata-bata aku mengutarakan cintaku pada Riani. Riani yang tak pernah menduga memang terlihat agak kaget. Aku memakluminya dan tak memaksanya menerimaku bahkan aku tak langsung meminta jawabannya saat itu. Aku beri waktu ia untuk memikirkannya selama dua minggu nanti. Ia pun tersenyum.
Lega rasanya hatiku sesudahnya walaupun perasaan takut ditolak lebih besar menghantuiku. Radja, Raka dan Wisnu pun telah mengetahuinya, entah dari siapa. Mereka bertiga akhirnya terdiam. Entah itu isyarat apa aku tak mengerti dan tak juga mau tahu. Hatiku sedang harap-harap cemas. Bicara dengan Rianto sekarang sudah percuma karena entah mengapa ia selalu menghindariku. Mungkin ia sedang sibuk dengan eskul basketnya.
Hari ini tanggal 23 Desember, tepat dua minggu sejak acara menembak Riani olehku. Aku bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku tak berani mengajak Riani keluar. Di rumah aku tampak uring-uringan semakin tak jelas. Tepat pukul tujuh malam ponselku berbunyi. Layarnya bertuliskan “Riani calling”, Aku ragu-ragu memungutnya dari atas meja sebelah tempat tidurku tapi aku tetap saja menekan tombol answer.
“Aku mau…”todong lawan bicaraku.
“Hah…mau apa,” jawabku bodoh.
“Maksud kamu apa Agni?” tanya Riani sedikit jengkel.
“Maksudku kamu mau jadi wanitaku…”jawabku tak kalah bodoh lagi.
“Iya…..aku mau, priaku,” jawab suara Riani dari sebelah telingaku.
Entah reaksi apalagi yang aku perbuat setelah itu. Hatiku jelas gembira bukan kepalang. Riani memang telah jatuh hati kepadaku sejak dulu, ia memang tak pernah mengganggapku sebagai lelaki tetapi lebih dari itu. Ia menggangapku prianya yang lebih dapat menyayanginya, ia tak pernah mempermasalahkan sikapku selama ini dan juga tak benci dengan merah jambuku walaupun iya jujur tidak begitu menyukainya. Sungguh hati wanita tidak bisa ditebak batinku.
Aku belingsitan dari ruang keluarga, dapur hingga ruang tamu mencari mama. Aku punya kabar baik jawabku pada Radja ketika aku menanyakan dimana mama. Aku bergegas ke kamar mama dan menghela napas melihat pintu kamar mama tidak ditutup. Aku melihat mama sedang duduk dipinggir tempat tidurnya menghadap jendela sambil memeluk sebuah pigura usang. Aku memanggilnya dan entah mungkin karena beliau terkejut, beliau menjatuhkan barang yang tadi dipeluknya dan mata beliau terlihat sembab. Sesosok anak perempuan kecil berumur sekitar tiga tahun terlihat difoto itu dan aku memungutnya.
“Ini siapa ma? Lalu mengapa mama menangis?” tanyaku pelan
Aku membalikkan foto itu dan melihat namaku serta tanggal hari ini dua puluh lima tahun silam tertulis dibelakangnya. Mama terlihat khawatir namun aku tetap mendesaknya meminta penjelasan selengkapnya.
“Iiiiiii….tu……kakakmu,” jawab mama terbata-bata.
Aku mengernyit dahi mencoba mencerna makna perkataan mama barusan namun mataku tidak beralih dari mata mama.
“Maksud mama apa?” tanyaku semakin tak mengerti.
“Maafkan mama sayang….mama tak bermaksud membunuhmu…”tangis mama pecah memeluk foto yang didekap erat didadanya.
Mama atau yang lain memang tak pernah membicarakan tentang Agni yang merupakan satu-satunya anak perempuan mama. Mama menyembunyikan kenyataan bahwa Agni anak perempuannya telah meninggal tenggelam di kolam renang rumah kami dua puluh lima tahun silam. Mama rupanya harus menanggung beban batin akibat rasa bersalahnya yang tak mampu menjaga Agni baik-baik hingga malapetaka itu terjadi. Hal ini yang rupanya menjadi alasan mama ingin memiliki anak perempuan lagi yang akhirnya aku yang anak laki-laki terakhirnya terpaksa dinamakan anak perempuan.
Aku kaget setengah mati dan sekejap merasa teramat lelah. Lelah batinku menunggu kepastian Riani dan kenyataan yang baru aku tahu telah menimpa mamaku. Harusnya aku berbahagia mendengar jawaban Riani, namun aku tak bisa mencerna kebahagian itu. Aku bergegas menuju kamarku melewati Radja yang terlihat bengong melihat reaksiku. Aku menduga ia juga belum mengetahui kebenaran ini.
Di kamarku aku tak sempat berganti piyama tidurku seperti biasanya. Aku tarik bantalku kuat-kuat hingga sebuah buku humor sepeninggalan Rianto untukku ketika aku sakit dulu terjatuh. Aku tak menghiraukannya hingga aku melihat sebuah amplop terlepas dari lembaran buku itu. tanganku sontak bergerak memungutnya dan membukanya
Buat Agni,
Sorry banget kalo aku harus berbuat begini. Aku tak harus mendapati jawaban iya darimu. Sekali lagi aku benar-benar minta maaf. Mungkin karena surat ini, kau tak mau berteman lagi denganku. Tapi aku harap kau tidak begitu.

Aku harus jujur Agni bahwa aku mencintaimu. Mungkin aneh ini buatmu, tapi aku tidak mengingkarinya bahwa aku gay dan aku menyukaimu lebih dari sekedar sahabat. Aku benci dengan diriku ini yang terus saja berujar munafik.
Sahabatmu,
Rianto
Besoknya aku tidak mendapati Rianto di sekolah, Ia telah pindah ke Batam begitu kata wali kelasku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar