Menjadi lelaki yang sesungguhnya sungguhlah banyak persyaratannya. Tak
hanya cukup punya jakun yang besar, tubuh berotot dan pernah merasakan
mimpi basah, tapi sesungguhnya ada hal yang lebih penting dari sekedar
itu. Itulah yang kerap kali dikatakan oleh ketiga kakakku, Radja, Raka
dan Wisnu setiap harinya.
Aku memang tak pernah menyalahkan mereka bahkan cenderung aku mengerti
maksud mereka. Apa boleh buat karena memang inilah aku. Agni adalah
namaku (nama yang aneh buatku karena membuat aib sepanjang hidupku),
terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara yang keseluruhannya
berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan yang menimpaku sungguhlah tak bisa
dijelaskan dengan akal sehat lagi, lantaran sudah sejak dulu sebenarnya
ibuku telah mengidam-idamkan lahirnya seorang anak perempuan, namun hal
tersebut tak kunjung terwujud hingga lahirlah anak keempat yang tetap
saja berjenis kelamin laki-laki. Sialnya dua tahun setelah kelahiranku,
ibuku mengalami operasi pengangkatan rahim sehingga mustahil bisa
mendapatkan adik bagiku.
Agni adalah nama yang jauh-jauh hari dipersiapkan oleh mamaku sebelum
ia menikah. Nama itu juga sama dengan nama calon anak sahabat karibnya
semasa remaja dulu. Sampai saat ini, aku tak mengerti apa bagusnya nama
itu. Sebagai sosok laki-laki yang dibesarkan layaknya seorang anak
perempuan, membuat hidupku lebih menyenangi hal-hal yang tidak disukai
oleh ketiga kakakku dan para lelaki normal lainnya. Aku lebih sensitif,
lemah lembut, manja, penurut, penyayang, benci kecoa, suka memasak dan
warna merah jambu. Bahkan untuk kesukaan akan warna merah jambuku itu,
aku punya kisah tersendiri.
Sejak awal rumah kami dibangun, mama sudah menyiapkan sebuah kamar
dengan nuansa merah jambu yang menjadi ornamen seluruh isi kamar anaknya
dan sialnya itulah kamar yang saat ini aku tempati. Sebenarnya aku
telah meminta, merengek, memaksa, memberontak bahkan memohon kepada
mama, bukan satu atau dua kali aku ingin merombak habis isi kamarku
bahkan telah kelu lidahku rasanya menyampaikan aspirasiku ini, namun
semua perjuangan itu kerap kali berakhir tragis dengan rasa tak tega
terhadap mama. Mama selalu saja berlindung dibalik air matanya. Aku yang
ada dihadapannya sudah tentu adalah sosok laki-laki yang lemah hatinya,
aku sungguh tak tahan dengan air mata. Apalagi ia ibuku sendiri.
Selalu saja aku merasa serba salah. Kadang aku mengganggap telah
menjadi korban yang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak juga
kepada mama, papa, Radja, Raka, Wisnu atau Tuhan sekali pun. Baktiku
sebagai seorang anak, ketidaktegaanku dan rasa sayang yang sangat
mendalam kepada mamaku membuatku terpuruk dengan keadaanku ini.
Papa adalah seorang kontraktor sukses. Radja adalah seorang mahasiswa
tingkat tiga teknik mesin ITB, Raka adalah atlet taekwondo nasional dan
Wisnu adalah playboy kelas kakap di sekolahnya. Namun aku sendiri hanya
hebat dalam hal memasak dan juara dalam hal melahap buku. Jika diukur
dari segi otak, aku memang unggul namun keunggulanku itu tak menguatkan
aku dalam posisi sebagai lelaki hebat, sosok lelaki macho yang
senantiasa diidam-idamkan oleh para perempuan yang sering ditipu
mentah-mentah oleh gombalnya Wisnu setiap hari. Sebagai seorang pria,
aku telah kalah telak dari mereka.
Sahabatku Rianto, lebih suka menyebutku lelaki cantik karena memang
katanya tak wajar rasanya jika ada laki-laki yang hobi memasak, teramat
benci dengan kecoa karena katanya menjijikan apalagi ditambah aku suka
dengan warna merah jambu yang katanya juga tak kalah menjijikan. Katanya
susah untuk menyebutku laki-laki jantan apabila aku tetap pada
kesukaanku itu. Aku memang pernah menyangkalnya, aku bilang aku masih
tetap suka cewek dan tak pernah sekalipun mencintai laki-laki, jadi aku
tak layak dianggap banci atau homoseksual.
“Jangan hanya karena hobiku itu To, kau mengganggapku laki-laki tak jantan!” jawabku sedikit tersinggung suatu ketika.
“Kau jangan tersinggung Ni, bukan itu maksudku…Kau jangan….” jawab Rianto tak selesai dengan kalimatnya.
Itulah argumenku. Kadang dengan sahabatku ini aku memang sedikit keras
dan kurang sopan. Dia selalu mengerti aku dan tak pernah mencelaku
dengan status merah jambuku itu. Aku sering bertanya dengannya apa yang
harus ku perbuat dengan masalahku dan selalu saja ia menyarankan
alternatif solusi terbaik bagiku. Setidaknya konsultasi dengan Rianto
lebih baik daripada dengan Radja, Raka atau Wisnu.
“Aku mengerti maksudmu To, tapi aku ini manusia yang bisa jengah dengan
segala julukan banci dari teman-temanmu itu,” jawabku cepat dengan
sedikit emosi.
“Agni, bukan lagi satu atau dua hari aku mengenalmu. Kau teman baikku
dan aku mengerti perasaanmu, mereka saja yang tak mengenalmu.”
Butuh sedikit waktu aku mencerna apa yang dikatakan Rianto, berkepala
dingin dalam menghadapi setiap masalah barang tentu adalah
kepiawaiannya. Aku pun berusaha berpikir tenang.
“Maafkan aku To….aku kadang sering emosian, tapi aku seharusnya bisa
membuktikan kepada teman-temanmu itu bahwa aku ini lelaki jantan,”
jawabku pelan.
“Kau mau buktikan dengan apa Ni…, Kau akan mengajak berkelahi Leo dan
genk-genknya yang sering mengolokmu lalu menunggu mamamu kena serangan
jantung mendengarnya” jawabnya membuatku mati kutu.
“Lantas apa aku hanya tinggal diam mereka meledekku seperti itu. Tak
hanya genknya Leo tapi juga genk Ratna dan tiga serangkai memuakkan
seperti mereka,” terdengar sedikit panas dari jawabanku dan gumam
kegeraman dalam hatiku.
“Mereka cewek-cewek tak berotak To. Hanya kenal cowok, mal dan salon
saja. Percuma kau menggubris mereka karena akan menambah sakit hatimu
saja. Kau tentu tak akan berbuat nekat kepada mereka kan? Lantaran hanya
ingin sebuah bukti,” tanya Rianto terlihat asyik dengan bola basketnya.
“Kamu gila apa…emang aku tak ada otak lagi. Aku harus bagaimana kalau begitu?” tanyaku.
“Kau pacari saja si Riani, itu akan dapat menyelesaikan masalah. Kau
juga tak jelek-jelek amat walaupun masih lebih ganteng aku,” seringai
Rianto.
“Sial kau To….,” hardikku.
Sejak saat itu Aku terus memikirkan saran dari Rianto. Aku memang telah
mengatakan berulang kali pada Rianto bahwa aku ini masih suka cewek,
namun aku juga maklum tuduhannya itu padaku. Sudah sejak empat tahun
lalu semasa kami baru SMP dulu, aku sudah banyak naksir cewek tapi tak
satupun sempat aku pacari. Bukan karena aku ditolak terus namun aku malu
mengatakan kepada cewek incaranku itu. Inilah kelemahanku. Mungkin aku
harus mencobanya pada Riani walaupun hatiku kekeuh menolaknya lantaran
takut itu hanya niat pembuktian atas statusku saja.
Tiga bulan sudah kini aku melancarkan misiku atas dasar saran dari
Rianto. Hari ini Riani datang bertamu kerumahku. Mau meminjamkan catatan
sekaligus minta ajarkan aku pelajaran fisika begitu katanya dari pesan
singkat diponselku siang tadi. Pendekatanku dengan Riani memang sedang
berlangsung tiga bulan ini, dia sering memintaku mengajarinya beberapa
pelajaran sekolah dan sering juga mentraktirku dikantin. Aku pun tahu
balas budi, sebatang coklat atau sebuah jepitan rambut sering pula aku
hadiahi untuknya, untuk nilai ulangannya yang sukses atau terkadang
dalam rangka menyenangkan hatinya saja.
“Siapa yang sore tadi ke rumah Ni?” tanya Raka ketika aku di depan TV.
“Teman sekolah Mas,” jawabku tak niat.
“Namanya siapa? Sudah punya pacar belum dia?” todong Wisnu cepat.
“Riani, Aku nggak tahu,” tercium gelagat playboy Wisnu olehku.
“Emang cakep nggak? Kalo cakep Mas lagi butuh cepat nih,” sambung Radja dari depan game Prince of Persia di laptopnya.
“Vina mantan mas sih lebih cakep. Tapi yang ini manis mas, kulitnya
saja hitam manis makin enak dilihat karena ada lesung pipinya,” tambah
Raka.
“Wah cocok, cewek begitu tipeku banget,” jawab Radja.
“Tapi itu incaranku Mas….kamu cari yang lain saja,” kata Raka serius.
Langsung saja aku melempar remote TV ke kursi sebelah Raka dan pergi
menuju kamarku. Sepeninggalanku hanya tatapan penuh tanya di muka ketiga
kakakku “Kenapa dia?”.
Ancaman ketiga kakakku memang ada benarnya. Wisnu yang anak basket
populer langsung berhasil mendapatkan nomor ponsel Riani. Radja dan Raka
pun diam-diam mencurinya dari ponselku. Aku belingsitan dan
uring-uringan, aku tak ingin mereka menjadi saingan terberatku. Seminggu
kemudian hubunganku dengan Riani sedikit merenggang lantaran aku selalu
menghindarnya. Setiap malam baik Wisnu, Radja atau Raka menelponnya,
aku pun sungguh cemas dibuatnya, aku pasti kalah telak lagi. Lagi-lagi
Rianto jadi sasaran curhatku.
“Jangan-jangan Riani mendekatiku lantaran ketiga kakakku To”.
“Ah…mungkin itu pikiran sempitmu saja Ni, Aku tahu Riani bukan orang
seperti itu. seingatku dia bukan tipe cewek agresif,” jawab Rianto
sedikit menenangkan.
Ini bukan pertama kalinya aku jatuh cinta, tapi memang kisahnya sudah
berubah. Semua cewek incaranku belum pernah datang kerumahku, bahkan
pernah ada cewek incaranku yang tidak tahu namaku sama sekali lantaran
aku malu mengenalkan diri. Sekarang ketiga kakakku terang-terangan
mendekati Riani. Bahkan Riani sempat datang lagi ke rumahku atas
undangan Wisnu. Entah karena keperluan apa, aku tak mengerti. Aku
sungguh mengutuk kebodohanku saat ini.
Ini sakit cinta namanya, walau dokter telah menyebutnya tipes. Rasa
kesal dengan diri ini dan muak melihat tingkah ketiga kakakku membuatku
panas dingin terbaring di tempat tidur. Mamaku panik setengah mati
dibuatnya, papa juga begitu hingga aku lebih heran melihatnya. Walaupun
aku tak sekuat Raka yang seorang atlet, tapi aku juga jarang sakit.
Rianto datang menjengukku. Tiga jam ia menemaniku ketika mama sedang
ada urusan di luar rumah, sambil membawaku sebuah buku humor untuk
menghiburku katanya. Dari raut mukanya terlihat ia khawatir dan prihatin
dengan sakit cintaku ini. Ia mengusap keningku terlihat ia sungguh
khawatir. Aku agak kikuk dibuatnya.
“Kau jangan bermanis-manis denganku, aku tahu akal busukmu. Pasti kau menertawakanku,” tuduhku tajam.
Ia memukul kepalaku dan tertawa sok manja. Rianto kadang susah ditebak alur pemikirannya.
Sore kemudian Riani datang kerumahku, bukan atas undangan siapa pun
tapi ia menjengukku. Ia membawakanku cheesecake kesukaanku. Lagi-lagi ia
seperti Rianto, teramat khawatir melihat kondisiku. Cewek seperti ini
sebenarnya favoritku, ia selalu menenangkanku dan yang penting dia tidak
langsung bertanya mengapa akhir-akhir ini aku selalu menghindarinya. Ia
pulang setelah berpesan agar aku memakan kuenya. Hari ini pertama
kalinya aku merasakan buku-buku lembut tangannya. Ia telah memegang
tanganku tadi.
Hari ini sudah kubulatkan tekadku. Pelajaran terakhir hari ini tak ada
yang masuk ke otakku. Aku sudah memberitahu Riani melalui pesan
singkatku agar menunggu sepulang sekolah. Entah kenapa sekarang aku
tidak peduli lagi dengan julukan-julukan banci yang dulu begitu ku
benci. Entah perasaanku saja atau yang lain, julukan-julukan itu
sekarang mulai berkurang. Aku mulai merasa saran Rianto mulai ada titik
terangnya.
Sedikit malu-malu dan dengan terbata-bata aku mengutarakan cintaku pada
Riani. Riani yang tak pernah menduga memang terlihat agak kaget. Aku
memakluminya dan tak memaksanya menerimaku bahkan aku tak langsung
meminta jawabannya saat itu. Aku beri waktu ia untuk memikirkannya
selama dua minggu nanti. Ia pun tersenyum.
Lega rasanya hatiku sesudahnya walaupun perasaan takut ditolak lebih
besar menghantuiku. Radja, Raka dan Wisnu pun telah mengetahuinya, entah
dari siapa. Mereka bertiga akhirnya terdiam. Entah itu isyarat apa aku
tak mengerti dan tak juga mau tahu. Hatiku sedang harap-harap cemas.
Bicara dengan Rianto sekarang sudah percuma karena entah mengapa ia
selalu menghindariku. Mungkin ia sedang sibuk dengan eskul basketnya.
Hari ini tanggal 23 Desember, tepat dua minggu sejak acara menembak
Riani olehku. Aku bingung tak tahu harus berbuat apa. Aku tak berani
mengajak Riani keluar. Di rumah aku tampak uring-uringan semakin tak
jelas. Tepat pukul tujuh malam ponselku berbunyi. Layarnya bertuliskan
“Riani calling”, Aku ragu-ragu memungutnya dari atas meja sebelah tempat
tidurku tapi aku tetap saja menekan tombol answer.
“Aku mau…”todong lawan bicaraku.
“Hah…mau apa,” jawabku bodoh.
“Maksud kamu apa Agni?” tanya Riani sedikit jengkel.
“Maksudku kamu mau jadi wanitaku…”jawabku tak kalah bodoh lagi.
“Iya…..aku mau, priaku,” jawab suara Riani dari sebelah telingaku.
Entah reaksi apalagi yang aku perbuat setelah itu. Hatiku jelas gembira
bukan kepalang. Riani memang telah jatuh hati kepadaku sejak dulu, ia
memang tak pernah mengganggapku sebagai lelaki tetapi lebih dari itu. Ia
menggangapku prianya yang lebih dapat menyayanginya, ia tak pernah
mempermasalahkan sikapku selama ini dan juga tak benci dengan merah
jambuku walaupun iya jujur tidak begitu menyukainya. Sungguh hati wanita
tidak bisa ditebak batinku.
Aku belingsitan dari ruang keluarga, dapur hingga ruang tamu mencari
mama. Aku punya kabar baik jawabku pada Radja ketika aku menanyakan
dimana mama. Aku bergegas ke kamar mama dan menghela napas melihat pintu
kamar mama tidak ditutup. Aku melihat mama sedang duduk dipinggir
tempat tidurnya menghadap jendela sambil memeluk sebuah pigura usang.
Aku memanggilnya dan entah mungkin karena beliau terkejut, beliau
menjatuhkan barang yang tadi dipeluknya dan mata beliau terlihat sembab.
Sesosok anak perempuan kecil berumur sekitar tiga tahun terlihat difoto
itu dan aku memungutnya.
“Ini siapa ma? Lalu mengapa mama menangis?” tanyaku pelan
Aku membalikkan foto itu dan melihat namaku serta tanggal hari ini dua
puluh lima tahun silam tertulis dibelakangnya. Mama terlihat khawatir
namun aku tetap mendesaknya meminta penjelasan selengkapnya.
“Iiiiiii….tu……kakakmu,” jawab mama terbata-bata.
Aku mengernyit dahi mencoba mencerna makna perkataan mama barusan namun mataku tidak beralih dari mata mama.
“Maksud mama apa?” tanyaku semakin tak mengerti.
“Maafkan mama sayang….mama tak bermaksud membunuhmu…”tangis mama pecah memeluk foto yang didekap erat didadanya.
Mama atau yang lain memang tak pernah membicarakan tentang Agni yang
merupakan satu-satunya anak perempuan mama. Mama menyembunyikan
kenyataan bahwa Agni anak perempuannya telah meninggal tenggelam di
kolam renang rumah kami dua puluh lima tahun silam. Mama rupanya harus
menanggung beban batin akibat rasa bersalahnya yang tak mampu menjaga
Agni baik-baik hingga malapetaka itu terjadi. Hal ini yang rupanya
menjadi alasan mama ingin memiliki anak perempuan lagi yang akhirnya aku
yang anak laki-laki terakhirnya terpaksa dinamakan anak perempuan.
Aku kaget setengah mati dan sekejap merasa teramat lelah. Lelah batinku
menunggu kepastian Riani dan kenyataan yang baru aku tahu telah menimpa
mamaku. Harusnya aku berbahagia mendengar jawaban Riani, namun aku tak
bisa mencerna kebahagian itu. Aku bergegas menuju kamarku melewati Radja
yang terlihat bengong melihat reaksiku. Aku menduga ia juga belum
mengetahui kebenaran ini.
Di kamarku aku tak sempat berganti piyama tidurku seperti biasanya. Aku
tarik bantalku kuat-kuat hingga sebuah buku humor sepeninggalan Rianto
untukku ketika aku sakit dulu terjatuh. Aku tak menghiraukannya hingga
aku melihat sebuah amplop terlepas dari lembaran buku itu. tanganku
sontak bergerak memungutnya dan membukanya
Buat Agni,
Sorry banget kalo aku harus berbuat begini. Aku tak harus mendapati
jawaban iya darimu. Sekali lagi aku benar-benar minta maaf. Mungkin
karena surat ini, kau tak mau berteman lagi denganku. Tapi aku harap kau
tidak begitu.
Aku harus jujur Agni bahwa aku mencintaimu. Mungkin aneh ini buatmu,
tapi aku tidak mengingkarinya bahwa aku gay dan aku menyukaimu lebih
dari sekedar sahabat. Aku benci dengan diriku ini yang terus saja
berujar munafik.
Sahabatmu,
Rianto
Besoknya aku tidak mendapati Rianto di sekolah, Ia telah pindah ke Batam begitu kata wali kelasku.
Assalamu'alaikum. Blog ini ada karena hobby penulis dalam menulis tak bisa lagi terinjeksikan, sejak agustus 2011. untuk itu, di blog ini penulis mempublikasikan cerpen masa lalu dari penulis,selain itu,juga ada pengalaman hidup penulis,mengenai arti hidup ini, bagaimana kita selayaknya harus bersyukur dengan segala keadaan kita.. Semoga bisa menginspirasi kalian, sahabat. Salam hangat dari penulis. dr.Lidya Puspitasari, Sp.B. insya Allah , amin
"Orang-orang yg sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yg harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak." (Aldus Huxley)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar