"Orang-orang yg sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yg harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak." (Aldus Huxley)

Sabtu, 06 April 2013

Jangan Rebut Milikku, Kana!!

Saat ini dunia sudah seperti oven mamaku, yang kapan saja bisa membuat apapun di dalamnya menjadi hangus. Otakku seakan-akan meleleh direbus teriknya sinar mentari siang itu. Dengan langkah yang cepat setengah berlari aku pun terus mengejarnya.
“Hei, tunggu...!” teriakku. Dan akhirnya meski dengan susah payah, tubuhku kini telah berada di dalam benda persegi pajang dengan empat roda itu. Sang supir tertawa ketika melihatku berlari ke arah bus bermotif spiderman yang semakin lama semakin menjauh dariku sambil membawa tas sandang yang menggelembung. Tanpa menghiraukan sang supir dengan nafas yang masih terengah-engah, mataku berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan belakang yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, aku pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan belakang. Setelah beberapa detik, akhirnya aku pun dapat menghempaskan tubuhku di atas kursi yang memang tidak bisa dikategorikan sebagai kursi yang empuk. Tapi setidaknya, kursi ini bisa memberiku kenyamanan selama dalam perjalanan menuju kampung halamanku.
Namaku Alicia. Teman-teman di sekolahku memanggilku dengan sebutan Cya. Terlahir sebagai anak bungsu dari enam bersaudara membuatku menjadi sosok yang manja dan keras kepala. Semenjak berusia 2 tahun, aku selalu menganggap bahwa ibu dan ayahku hanyalah milikku seorang. Siapapun pun tak boleh merebut perhatian mereka dariku. Apalagi mengambil gelar yang sangat aku banggakan hingga saat ini yakni sebagai anak bungsu.
  Namun berbeda dengan anak bungsu biasanya yang selalu diidentikkan dengan sebutan “anak mama”. Sejak usiaku beranjak ke angka sebelas, aku sudah tinggal di atap yang berbeda dengan kedua orangtuaku. Semua itu aku lakukan selain agar aku mendapat pendidikan yang bisa membawa kesuksesan bagiku tapi juga karena aku ingin membuktikan pada keluargaku bahwa aku bisa mandiri. Meski beberapa bulan berat kulalui tanpa sosok ibu yang setiap pagi berdiri didepan pintu sambil melambaikan tangannya menghantarkanku pergi ke sekolah. Tapi semua itu kulawan dengan ambisiku yang kuat.
***
Sewaktu aku kecil, aku pernah diejeki oleh kakak laki-lakiku.
 “Ibu bakalan punya bayi baru,” bisikknya di telingaku. Tapi aku tak menghiraukan perkataan kakakku itu yang memang senang mengejekku.
“Oh iya, berarti, adek nggak bakal jadi anak bungsu lagi dong!!! ditambahi kakak perempuanku.
Aku pun tak kuat menahan arus air mata yang membanjiri pipiku. Hingga aku menangis hampir satu jam, itu pun karena ibuku yang menenangkanku. Dan kedua kakakku tertawa terbahak-bahak karena mereka sukses menjahiliku.
***
Entah sudah berapa lama aku tidak pulang ke tempat dimana aku pernah menghabiskan masa kanak-kanakku dulu. Rasa kangen akan keluarga tak mungkin lagi aku bendung setelah sekian lama. Dan kini tiba saatnya aku mencairkan rasa kangenku kepada ayah, ibu dan juga kakak-kakakku yang telah lama membeku dalam jiwaku ini.
Selama perjalanan, aku sempat bertanya-tanya mengenai reaksi ibu ketika melihat anak perempuannya datang tiba-tiba. Bagaimana ya kabar ayah dan ibu? batinku. Lamunanku tentang kedua orangtuaku pun terhenti seketika, saat indra penciumanku tak sengaja menghirup sesuatu yang membuat dadaku sesak dan batuk-batuk.  Ternyata itu kepulan asap rokok yang berasal dari penumpang disebelahku yang dengan seenaknya merokok di sembarang tempat. Lelaki berkumis tebal itu membuatku kesal. Padahal sejak kecil aku memang anti dengan segala sesuatu yang membuat aku sulit untuk bernafas. Tapi sayangnya orang itu tidak mengerti oranglain.
Beralih dari masalah asap rokok lelaki berkumis tebal itu, ketika melihat kumisnya. Aku kembali teringat dengan sosok pria yang selalu mengantarkan aku ke sekolah waktu aku kecil, membelikan gulali kesukaanku, dan menjagaku disaat ibu sedang sibuk memasak. Dibalik tubuhnya yang kekar, kulitnya yang hitam terbakar sang surya, dan yang paling kuingat yaitu kumisnya yang tebal. Sosok pria yang sabar, berwibawa dan disiplin. Beliau adalah ayahku. Ayah terbaik yang pernah ada di jagad raya ini. Dan hanya aku yang memilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar