"Orang-orang yg sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yg harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak." (Aldus Huxley)

Sabtu, 06 April 2013

RAIN

“Woi! Ngapain lo di sini sendirian?” teriak Rayi.
“Ih, gila kali lo, ngagetin orang seenak jidat lo aja!” seru Indie. Mereka berdua bersahabat sejak duduk di kelas 2 SD. Walau  tingkah mereka sangat mencerminkan permusuhan, tapi di antara mereka tidak pernah ada kata marah. Tiga tahun lalu, mereka bertemu saat sama-sama mendaftar di sekolah mereka sekarang setelah tiga tahun berpisah.
“Lagi apa lo?” tanya Rayi melihat Indie asyik dengan binder pemberiannya.
“Gue mau coba bikin puisi buat lomba karya tulis antar SMA,” jawab Indie yang memang lebih pendam daripada Rayi.
“Gimana soal Tasya? Tadi gue liat dia bawa-bawa kado ke kelas lo?” lanjut Indie mengalihkan pembicaraan dan menatap sang sahabat.
“Oh iya. Tadi dia ke kelas gue dan ngasih gue jam tangan gitu. Tapi ya gue masing menghargai jam tangan pemberian dari lo dan asal lo tau aja ya, modelnya itu girlie abis,” jawab Rayi sambil memamerkan jam tangan hitam yang dulu pernah Indie berikan padanya.
Mereka tertawa. Tasya adalah anak konglomerat ternama yang memang menyukai Rayi sejak mereka bertemu di MOS, tapi saat ini Rayi tidak menghiraukan apa pun yang Tasya lakukan. Ya, dia tetap pada sahabatnya, Indie yang menurut Rayi adalah wanita kedua yang sangat ia sayangi setelah peringkat pertama yakni Alm. Ibunya.
TOOKK...TOOKKK...
“Masuk, gak dikunci!” teriak Indie.
“Pagi girl!”sapa Rayi yang selalu mengunjungi rumah Indie pagi-pagi jika libur tiba untuk jalan-jalan ke taman.
“Hmm...,” jawab Indie.
“Kita ke taman yuk! Lo kutu buku banget sih? Pagi hari di weekend gini lo udah baca buku, ya walaupun itu novel,” ucap Rayi.
“Lebih baik kutu buku daripada kutu PS,” sindir Indie.
“Aaaarrrrggghhh... Berisik lo! Yuk!” ajak Rayi menarik-narik tangan Indie. Akhirnya Indie pun beranjak dari duduknya.
***
Kabut putih menghalangi jarak pandang mereka, tetesan embun dan kicauan burung membuat suasana menjadi damai. Di sebuah taman di sudut kota menjadi tempat favorite mereka di pagi hari. Indie menghela napas.  “Memang enak ya kalo kita bener-bener mensyukuri apa yang Tuhan kasih,” ucap Indie. Rayi tersenyum.
Setelah jogging beberapa saat, mereka melepas lelah di sebuah bangku.
 “Ray, hidup itu indah ya” ucap Indie, diangguki oleh Rayi.
“Tapi hidup itu gak selamanya indah kan? Pasti ada akhirnya, gimana ya kalo besok gue udah gak bisa liat pemandangan kayak gini lagi?” ucap Indie membuat Rayi kaget.
“Di, lo apa-apaan sih ngomong kok kayak gitu?” gerutu Rayi, Indie hanya tersenyum.
“Di, nanti siang mau gak anter gue ke bookshop?” tanya Rayi. Indie menggeleng.
“Kenapa? Jahat lo! Mmm... kalo gitu gue main ke rumah lo aja gimana?” tanya Rayi. Indie pun mengangguk. Ada apa dengan Indie? Dia gak seperti biasanya, sekarang dia lebih banyak diam dan selalu menolak kalo gue ajak jalan. Batin Rayi.
Sore itu Rayi dan Indie pergi membeli bunga tulip kesukaan Indie. “Bunga tulip itu cantik ya?” ucap Indie.
“Iya, sama kayak fansnya yang satu ini,” puji Rayi. “Maksud lo?” tanya Indie heran.
“Awannya mendung, Di!” seru Rayi sembari tersenyum.
“Jangan-jangan mau hujan. Ayo Ray, kita harus cepet pulang!” ucap Indie cemas.
“Hey, lo kok jadi beda gini sih, Di? Apa karena kemarin kemarau, jadi lo lupa sama kegemaran kita hujan-hujanan? Perasaan, antara kita lo deh yang paling antusias sama hujan-hujanan. Kenapa sekarang...,” belum sempat Rayi meneruskan  kata-katanya, hujan lebih dulu jatuh ke permukaan bumi dengan derasnya. Rayi tertawa, tapi tidak dengan Indie. Ia terlihat ketakutan dan lemas, wajahnya pun berubah pucat.
“Ra...a...ay,” panggil Indie, tapi Rayi tetap dengan tawanya.
“Ra...a...ay, gue... gue dingin,” ucap Indie semakin lemas. Ia duduk di tanah sembari memeluk tubuhnya sendiri.
“Indie, lo kenapa? Kok muka lo jadi pucet gini sih?” tanya Rayi cemas.
“Gue...,” tak kuasa menahan dinginnya cuaca, Indie memilih tenggelam dalam alam bawah sadarnya.
“Indie!” panggil Rayi.
***
“Tan, Indie kenapa?” tanya Rayi setelah Ibunda Indie berbicara dengan dokter.
“Indie gak pernah cerita sebelumnya sama kamu?” tanya Tante sembari duduk di samping Rayi yang juga berada di dekat Indie.
“Indie...,” air mata Tante Mira, Ibunda Indie membuat Rayi semakin  penasaran. “Dia mengidap kanker hati stadium akhir,” jawab Tante Mira dengan menundukkan kepala.
“Ini gak mungkin, Tan. Indie orangnya kuat, Indie selalu peduli dengan kesehatannya dan orang lain, Indie...”
“Tapi, itulah kenyataannya Ray!” ucap Tante Mira sedikit membentak. “Tante juga kaget setelah mendengar kabar itu. Waktu itu, kamu dan Indie pergi ke bukit membeli bunga tulip kan?” Rayi mengangguk. Dua jam setelah kamu pulang, Indie merasa pusing, lemas, dan hidungnya tak henti mengeluarkan darah. Tante langsung membawanya ke rumah sakit, dan dari situlah Tante tau kalo dia mengidap kanker hati stadium akhir dan perkiraan dokter umurnya sudah tak lama lagi. Tante takut kehilangan Indie, karena ialah satu-satunya alasan Tante tetap berdiri tegap setelah ayahnya pergi,” jelas Tante.
Tak sadar Rayi pun meneteskan air mata. “Lo gak boleh ninggalin gue, Di. Gue gak mau ngeliat hujan tanpa lo di sisi gue. Lo janji, kan? Lo bakal selalu nemenin gue liat turunnya hujan? Sama kayak nama kita, RAIN = Rayi dan Indie. Lo harus bangkit Di, gue pengen liat Indie yang selalu bawa-bawa binder pemberian sahabatnya dan mencurahkan semua perasaannya menjadi sebuah puisi di dalam binder itu,” batin Rayi menatap Indie yang terkulai lemas di kamarnya dengan cairan infus di lengan.
***
Sudah dua hari Rayi dan Indie lewati tanpa komunikasi sama sekali. Tapi, hari ini, Indie telah bangkit dari tidur lelapnya. Pagi itu Rayi menjemput Indie untuk berangkat bersama ke sekolah. “Ibu, Indie pergi sekolah dulu ya?” pamit Indie.
“Heti-hati ya Di. Ray, jaga Indie baik-baik ya!” ucap Ibu pada Indie dan Rayi. Rayi mengangguk. Di perjalanan, Indie bertanya maksud ibunya berkata seperti tadi pada Rayi.
“Ray, apa sih maksud Ibu ngomong gitu ke elo? Gak biasanya?  Ada apa?” tanya Indie.
Rayi diam. “Gue harus jawab apa? Gue gak mau ngasih jawaban yang bikin dia drop. Tapi apa? Apa gue harus jujur? Tapi, gue takut dia minder sama gue. So, gue harus jawab apa dong?” batin Rayi.
“Ray! Lo kenapa?” tanya Indie.
“Hah! Gue gak apa-apa kok. Ya mungkin Ibu khawatir aja sama lodan karena yang jemput lo itu sahabat anaknya yang paliiiiing guanteng dan berani, jadi ibu titipin lo ke gue. Wajarlah, secara elo kan anak cewek satu-satunya pula,” jawab Rayi dengan banyolannya.
“Narsis lo!” sindir Indie.
“Bodo! Lebih baik narsis daripada nervous,” ucap Rayi. Indie tertawa.
***
Sikap pendiam Indie berubah 1800 semenjak kejadian itu. Indie berubah menjadi sangat periang, seakan-akan ia ingin mengatakan bahwa dia ingin membahagiakan semua orang yang sayang padanya. Mulai dari ibu, Rayi dan teman-temannya, dia buat tertawa. Sampai-sampai Rayi menangis oleh keriangannya itu.
“Ray, gue sayang sama elo,” ucap Indie. Rayi langsung memeluk tubuh mungil Indie dan menangis di dalam pelukan itu. Indie tersenyum. “Gue juga sayang banget sama lo Di, lo adik gue, pacar sekaligus sahabat gue yang paling berarti dalam hidup gue. Dan karena itu, lo gak boleh ninggalin gue sendiri, lo harus selalu nepatin janji lo buat liat hujan sama-sama,” ucap Rayi.
“Iya, gue janji. Gue akan selalu nemenin lo liat hujan bareng,” jawab Indie. Rayi pun melepaskan pelukannya dan menghapuskan air matanya.
“Gue tau kok, lo udah dengar penyakit yang gue idap ini. Tapi, gue yakin lo pasti gak akan ninggalin gue sendiri. Tapi, gue yakin lo pasti gak akan ninggalin gue sendiri tenggelam dalam derasnya hujan,” ucap Indie.
So, maksud lo bakal nemenin gue...?”
“Gue, bakal nemenin lo dari surga dan gue akan minta Tuhan nurunin hujan saat lo ada di tempat favorite kita. Rumah gue, di bukit dan pastinya tempat di man gue abadi dan kalo lo liat pelangi sesudah hujan turun, itu senyuman manis gue buat lo,” ucap Indie terenyum manis.
“Gue lega Ray, gue udah bisa buat lo, ibu, juga temen-temen bahagia sebelum gue pergi nanti. Gue boleh titip pesen gak?” tanya Indie. Rayi mengangguk dengan air mata yang terus mengalir.
“Nanti kalo gue udah gak ada tolong jagain Ibu dan gue mau lo selalu jadi diri lo sendiri. Dan... satu lagi!” ucap Indie sambil mengambil ponselnya dan memberikannya pada Rayi.
“Ini kan Hp lo?” tanya Rayi.
“Iya, itu Hp gue. Tapi itu dulu, sekarang Hp itu milik lo. Tenang aja, Hp itu gue beli dengan hasil puisi-puisi gue yang gue kirim ke majalah-majalah. Jadi, ibu gak akan ngelarang. Di situ ada foto-foto gue dan elo, di situ jug a ada lagu Hujan-nya Utopia kok, lagu favorit kita dan kalo lo kangen sama gue, lo tinggal rekam suara di ponsel itu pasti gue denger,” jelas Indie riang. Suasana jadi hening, Indie pun turut mengucurkan air mata, tapi ia tak mau larut dalam kesedihan.
“Ray, hujan!” ucap Indie menatap ke arah langit dengan tangan melentang.
“Di, ayo kita berteduh!” ajak Rayi.
“Nggak Ray, gue mau di sini,” ucap Indie melepaskan genggaman Rayi.
“INDIE!!” panggil ibu yang datang dari arah rumah dengan air mata kasih sayangnya.
“Ibu, Indie sayang ibu!” teriak Indie, ibunya tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa dan menangis. Hujan semakin deras, Rayi memeluk Indie dengan air mata yang mengalir semakin deras.
“Gue sayang sama lo, Rayi...” ucap Indie, darah dari hidungnya mulai mengalir, matanya pun dengan perlahan keindahan dunia yang selama ini ia nikmati. Kini tubuhnya hanyalah tubuh tanpa jiwa, kebaikkan dan kasih sayangnya pada orang-orang yang telah ia bahagiakan membuat jiwa itu pergi dengan senyuman manis yang tertoreh di bibir manis indie.
“INDIE.....!!!” teriak Rayi. Hujan semakin deras, Rayi dan ibu hanya bisa mengantar kepergiannya dengan doa dan rasa kasih sayang.
***
Di, thanks atas kesan terakhir yang lo kasih buat gue. Gue janji akan selalu ingat pesan lo sama gue. Tolong turunin hujan saat ini, ucap Rayi saat pemakaman Indie berlangsung.
Tak lama kemudian tanah merah Indie terbasuh oleh air hujan yang turun sangat lebat. “Thanks lo udah nepatin janji lo sama gue,” batin Rayi.
“Ray, ini binder yang kamu kasih ke Indie kan? Sebelum Indie pergi, dia titip pesen sama ibu buat kasih binder ini ke kamu,” ucap ibu yang nampak lebih tegar.
“Terima kasih ya, Bu,” ucap Rayi. Ibu tersenyum sembari membelai rambut Rayi yang basah akibat hujan.
“Ibu pulang duluan ya?” pamit Ibu. Rayi mengangguk.
Beri Aku Waktu
dalam sujud, aku meminta
dalam doa, aku pun meminta
dan hanya satu yang kupinta, yakni rasa bahagia dunia dan akhirat
aku sangat ingin memberi kebahagiaan di kesempatan terkhirku
kebahagiaan tuk orang-orang yang aku sayang
tuhan , tolong! jangan ambil aku sebelum aku bisa membahagiakan mereka
aku tak ingin memberi kenangan yang kurang indah
beri aku waktu untuk membahagiakan mereka
            ‘Ray, gue balikin lagi binder pemberian lo. Tapi, lo jangan salah paham gue bukan gak menghargai pemberian lo tapi gue mau lo gak merasa kurang perhatian dari gue. Maaf kalo persahabatan kita hanya sampai di sini tapi asal lo tau persahabatan sejati kita akan selalu gue bawa ke surga.
***
Rayi menangis sendirian di dalam kamar sembari menatap foto-fotonya dengan Indie, puisi-puisi indah yang Indie buat dengan lagu Hujan-nya Utopia pun mengalun.
aku selalu bahagia saat hujan turun
karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri
selalu ada cerita... tersimpan dihatiku...
tentang kau dan hujan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar