“Woi! Ngapain lo di
sini sendirian?” teriak Rayi.
“Ih,
gila kali lo, ngagetin orang seenak jidat lo aja!” seru Indie. Mereka berdua
bersahabat sejak duduk di kelas 2 SD. Walau tingkah mereka sangat mencerminkan permusuhan,
tapi di antara mereka tidak pernah ada kata marah. Tiga tahun lalu, mereka
bertemu saat sama-sama mendaftar di sekolah mereka sekarang setelah tiga tahun
berpisah.
“Lagi
apa lo?” tanya Rayi melihat Indie asyik dengan binder pemberiannya.
“Gue
mau coba bikin puisi buat lomba karya tulis antar SMA,” jawab Indie yang memang
lebih pendam daripada Rayi.
“Gimana
soal Tasya? Tadi gue liat dia bawa-bawa kado ke kelas lo?” lanjut Indie
mengalihkan pembicaraan dan menatap sang sahabat.
“Oh
iya. Tadi dia ke kelas gue dan ngasih gue jam tangan gitu. Tapi ya gue masing
menghargai jam tangan pemberian dari lo dan asal lo tau aja ya, modelnya itu girlie abis,” jawab Rayi sambil memamerkan
jam tangan hitam yang dulu pernah Indie berikan padanya.
Mereka
tertawa. Tasya adalah anak konglomerat ternama yang memang menyukai Rayi sejak
mereka bertemu di MOS, tapi saat ini Rayi tidak menghiraukan apa pun yang Tasya
lakukan. Ya, dia tetap pada sahabatnya, Indie yang menurut Rayi adalah wanita
kedua yang sangat ia sayangi setelah peringkat pertama yakni Alm. Ibunya.
TOOKK...TOOKKK...
“Masuk,
gak dikunci!” teriak Indie.
“Pagi girl!”sapa Rayi yang selalu mengunjungi
rumah Indie pagi-pagi jika libur tiba untuk jalan-jalan ke taman.
“Hmm...,”
jawab Indie.
“Kita
ke taman yuk! Lo kutu buku banget sih? Pagi hari di weekend gini lo udah baca buku, ya walaupun itu novel,” ucap Rayi.
“Lebih
baik kutu buku daripada kutu PS,” sindir Indie.
“Aaaarrrrggghhh...
Berisik lo! Yuk!” ajak Rayi menarik-narik tangan Indie. Akhirnya Indie pun
beranjak dari duduknya.
***
Kabut
putih menghalangi jarak pandang mereka, tetesan embun dan kicauan burung
membuat suasana menjadi damai. Di sebuah taman di sudut kota menjadi tempat
favorite mereka di pagi hari. Indie menghela napas. “Memang enak ya kalo kita bener-bener
mensyukuri apa yang Tuhan kasih,” ucap Indie. Rayi tersenyum.
Setelah
jogging beberapa saat, mereka melepas lelah di sebuah bangku.
“Ray, hidup itu indah ya” ucap Indie,
diangguki oleh Rayi.
“Tapi
hidup itu gak selamanya indah kan? Pasti ada akhirnya, gimana ya kalo besok gue
udah gak bisa liat pemandangan kayak gini lagi?” ucap Indie membuat Rayi kaget.
“Di,
lo apa-apaan sih ngomong kok kayak gitu?” gerutu Rayi, Indie hanya tersenyum.
“Di,
nanti siang mau gak anter gue ke bookshop?”
tanya Rayi. Indie menggeleng.
“Kenapa?
Jahat lo! Mmm... kalo gitu gue main ke rumah lo aja gimana?” tanya Rayi. Indie
pun mengangguk. Ada apa dengan Indie? Dia gak seperti biasanya, sekarang dia
lebih banyak diam dan selalu menolak kalo gue ajak jalan. Batin Rayi.
Sore
itu Rayi dan Indie pergi membeli bunga tulip kesukaan Indie. “Bunga tulip itu
cantik ya?” ucap Indie.
“Iya,
sama kayak fansnya yang satu ini,” puji Rayi. “Maksud lo?” tanya Indie heran.
“Awannya
mendung, Di!” seru Rayi sembari tersenyum.
“Jangan-jangan
mau hujan. Ayo Ray, kita harus cepet pulang!” ucap Indie cemas.
“Hey,
lo kok jadi beda gini sih, Di? Apa karena kemarin kemarau, jadi lo lupa sama
kegemaran kita hujan-hujanan? Perasaan, antara kita lo deh yang paling antusias
sama hujan-hujanan. Kenapa sekarang...,” belum sempat Rayi meneruskan kata-katanya, hujan lebih dulu jatuh ke
permukaan bumi dengan derasnya. Rayi tertawa, tapi tidak dengan Indie. Ia
terlihat ketakutan dan lemas, wajahnya pun berubah pucat.
“Ra...a...ay,”
panggil Indie, tapi Rayi tetap dengan tawanya.
“Ra...a...ay,
gue... gue dingin,” ucap Indie semakin lemas. Ia duduk di tanah sembari memeluk
tubuhnya sendiri.
“Indie,
lo kenapa? Kok muka lo jadi pucet gini sih?” tanya Rayi cemas.
“Gue...,”
tak kuasa menahan dinginnya cuaca, Indie memilih tenggelam dalam alam bawah
sadarnya.
“Indie!”
panggil Rayi.
***
“Tan,
Indie kenapa?” tanya Rayi setelah Ibunda Indie berbicara dengan dokter.
“Indie
gak pernah cerita sebelumnya sama kamu?” tanya Tante sembari duduk di samping
Rayi yang juga berada di dekat Indie.
“Indie...,”
air mata Tante Mira, Ibunda Indie membuat Rayi semakin penasaran. “Dia mengidap kanker hati stadium
akhir,” jawab Tante Mira dengan menundukkan kepala.
“Ini
gak mungkin, Tan. Indie orangnya kuat, Indie selalu peduli dengan kesehatannya
dan orang lain, Indie...”
“Tapi,
itulah kenyataannya Ray!” ucap Tante Mira sedikit membentak. “Tante juga kaget
setelah mendengar kabar itu. Waktu itu, kamu dan Indie pergi ke bukit membeli
bunga tulip kan?” Rayi mengangguk. Dua jam setelah kamu pulang, Indie merasa
pusing, lemas, dan hidungnya tak henti mengeluarkan darah. Tante langsung
membawanya ke rumah sakit, dan dari situlah Tante tau kalo dia mengidap kanker
hati stadium akhir dan perkiraan dokter umurnya sudah tak lama lagi. Tante
takut kehilangan Indie, karena ialah satu-satunya alasan Tante tetap berdiri
tegap setelah ayahnya pergi,” jelas Tante.
Tak
sadar Rayi pun meneteskan air mata. “Lo gak boleh ninggalin gue, Di. Gue gak
mau ngeliat hujan tanpa lo di sisi gue. Lo janji, kan? Lo bakal selalu nemenin
gue liat turunnya hujan? Sama kayak nama kita, RAIN = Rayi dan Indie. Lo harus
bangkit Di, gue pengen liat Indie yang selalu bawa-bawa binder pemberian
sahabatnya dan mencurahkan semua perasaannya menjadi sebuah puisi di dalam
binder itu,” batin Rayi menatap Indie yang terkulai lemas di kamarnya dengan
cairan infus di lengan.
***
Sudah
dua hari Rayi dan Indie lewati tanpa komunikasi sama sekali. Tapi, hari ini,
Indie telah bangkit dari tidur lelapnya. Pagi itu Rayi menjemput Indie untuk
berangkat bersama ke sekolah. “Ibu, Indie pergi sekolah dulu ya?” pamit Indie.
“Heti-hati
ya Di. Ray, jaga Indie baik-baik ya!” ucap Ibu pada Indie dan Rayi. Rayi
mengangguk. Di perjalanan, Indie bertanya maksud ibunya berkata seperti tadi
pada Rayi.
“Ray,
apa sih maksud Ibu ngomong gitu ke elo? Gak biasanya? Ada apa?” tanya Indie.
Rayi
diam. “Gue harus jawab apa? Gue gak mau ngasih jawaban yang bikin dia drop.
Tapi apa? Apa gue harus jujur? Tapi, gue takut dia minder sama gue. So, gue
harus jawab apa dong?” batin Rayi.
“Ray!
Lo kenapa?” tanya Indie.
“Hah!
Gue gak apa-apa kok. Ya mungkin Ibu khawatir aja sama lodan karena yang jemput
lo itu sahabat anaknya yang paliiiiing guanteng dan berani, jadi ibu titipin lo
ke gue. Wajarlah, secara elo kan anak cewek satu-satunya pula,” jawab Rayi
dengan banyolannya.
“Narsis
lo!” sindir Indie.
“Bodo!
Lebih baik narsis daripada nervous,”
ucap Rayi. Indie tertawa.
***
Sikap
pendiam Indie berubah 1800 semenjak kejadian itu. Indie berubah
menjadi sangat periang, seakan-akan ia ingin mengatakan bahwa dia ingin
membahagiakan semua orang yang sayang padanya. Mulai dari ibu, Rayi dan
teman-temannya, dia buat tertawa. Sampai-sampai Rayi menangis oleh keriangannya
itu.
“Ray,
gue sayang sama elo,” ucap Indie. Rayi langsung memeluk tubuh mungil Indie dan
menangis di dalam pelukan itu. Indie tersenyum. “Gue juga sayang banget sama lo
Di, lo adik gue, pacar sekaligus sahabat gue yang paling berarti dalam hidup
gue. Dan karena itu, lo gak boleh ninggalin gue sendiri, lo harus selalu
nepatin janji lo buat liat hujan sama-sama,” ucap Rayi.
“Iya,
gue janji. Gue akan selalu nemenin lo liat hujan bareng,” jawab Indie. Rayi pun
melepaskan pelukannya dan menghapuskan air matanya.
“Gue
tau kok, lo udah dengar penyakit yang gue idap ini. Tapi, gue yakin lo pasti
gak akan ninggalin gue sendiri. Tapi, gue yakin lo pasti gak akan ninggalin gue
sendiri tenggelam dalam derasnya hujan,” ucap Indie.
“So, maksud lo bakal nemenin gue...?”
“Gue,
bakal nemenin lo dari surga dan gue akan minta Tuhan nurunin hujan saat lo ada
di tempat favorite kita. Rumah gue, di bukit dan pastinya tempat di man gue
abadi dan kalo lo liat pelangi sesudah hujan turun, itu senyuman manis gue buat
lo,” ucap Indie terenyum manis.
“Gue
lega Ray, gue udah bisa buat lo, ibu, juga temen-temen bahagia sebelum gue
pergi nanti. Gue boleh titip pesen gak?” tanya Indie. Rayi mengangguk dengan
air mata yang terus mengalir.
“Nanti
kalo gue udah gak ada tolong jagain Ibu dan gue mau lo selalu jadi diri lo
sendiri. Dan... satu lagi!” ucap Indie sambil mengambil ponselnya dan
memberikannya pada Rayi.
“Ini
kan Hp lo?” tanya Rayi.
“Iya,
itu Hp gue. Tapi itu dulu, sekarang Hp itu milik lo. Tenang aja, Hp itu gue
beli dengan hasil puisi-puisi gue yang gue kirim ke majalah-majalah. Jadi, ibu
gak akan ngelarang. Di situ ada foto-foto gue dan elo, di situ jug a ada lagu
Hujan-nya Utopia kok, lagu favorit kita dan kalo lo kangen sama gue, lo tinggal
rekam suara di ponsel itu pasti gue denger,” jelas Indie riang. Suasana jadi
hening, Indie pun turut mengucurkan air mata, tapi ia tak mau larut dalam
kesedihan.
“Ray,
hujan!” ucap Indie menatap ke arah langit dengan tangan melentang.
“Di,
ayo kita berteduh!” ajak Rayi.
“Nggak
Ray, gue mau di sini,” ucap Indie melepaskan genggaman Rayi.
“INDIE!!”
panggil ibu yang datang dari arah rumah dengan air mata kasih sayangnya.
“Ibu,
Indie sayang ibu!” teriak Indie, ibunya tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa
dan menangis. Hujan semakin deras, Rayi memeluk Indie dengan air mata yang
mengalir semakin deras.
“Gue
sayang sama lo, Rayi...” ucap Indie, darah dari hidungnya mulai mengalir,
matanya pun dengan perlahan keindahan dunia yang selama ini ia nikmati. Kini
tubuhnya hanyalah tubuh tanpa jiwa, kebaikkan dan kasih sayangnya pada
orang-orang yang telah ia bahagiakan membuat jiwa itu pergi dengan senyuman
manis yang tertoreh di bibir manis indie.
“INDIE.....!!!”
teriak Rayi. Hujan semakin deras, Rayi dan ibu hanya bisa mengantar
kepergiannya dengan doa dan rasa kasih sayang.
***
Di,
thanks atas kesan terakhir yang lo
kasih buat gue. Gue janji akan selalu ingat pesan lo sama gue. Tolong turunin
hujan saat ini, ucap Rayi saat pemakaman Indie berlangsung.
Tak
lama kemudian tanah merah Indie terbasuh oleh air hujan yang turun sangat
lebat. “Thanks lo udah nepatin janji
lo sama gue,” batin Rayi.
“Ray,
ini binder yang kamu kasih ke Indie kan? Sebelum Indie pergi, dia titip pesen
sama ibu buat kasih binder ini ke kamu,” ucap ibu yang nampak lebih tegar.
“Terima
kasih ya, Bu,” ucap Rayi. Ibu tersenyum sembari membelai rambut Rayi yang basah
akibat hujan.
“Ibu
pulang duluan ya?” pamit Ibu. Rayi mengangguk.
Beri Aku Waktu
dalam
sujud, aku meminta
dalam
doa, aku pun meminta
dan
hanya satu yang kupinta, yakni rasa bahagia dunia dan akhirat
aku
sangat ingin memberi kebahagiaan di kesempatan terkhirku
kebahagiaan
tuk orang-orang yang aku sayang
tuhan
, tolong! jangan ambil aku sebelum aku bisa membahagiakan mereka
aku
tak ingin memberi kenangan yang kurang indah
beri
aku waktu untuk membahagiakan mereka
‘Ray, gue balikin lagi binder
pemberian lo. Tapi, lo jangan salah paham gue bukan gak menghargai pemberian lo
tapi gue mau lo gak merasa kurang perhatian dari gue. Maaf kalo persahabatan
kita hanya sampai di sini tapi asal lo tau persahabatan sejati kita akan selalu
gue bawa ke surga.
***
Rayi
menangis sendirian di dalam kamar sembari menatap foto-fotonya dengan Indie,
puisi-puisi indah yang Indie buat dengan lagu Hujan-nya Utopia pun mengalun.
aku selalu bahagia saat hujan turun
karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri
selalu ada cerita... tersimpan dihatiku...
tentang kau dan hujan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar