"Orang-orang yg sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yg harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak." (Aldus Huxley)

Sabtu, 06 April 2013

Kupanggil Kau Sholeha

Ibuku sangatlah cantik sedangkan ayahku adalah orang yang sungguh teramat bodoh. Itulah kata-kata yang sengaja aku benam dalam benakku sepuluh tahun ini. Ayahku yg bodoh telah pergi sejak dulu bersama dengan seorang wanita yg dianggapnya lebih cantik daripada ibuku. Ia meninggalkanku, ibuku dan juga adikku yang saat itu masih belum genap berumur tujuh bulan di dalam perut ibuku. Ayahku sangatlah brengsek, sebrengsek tingkah lakunya kepada kami. Kini ibu harus menanggung beban ganda hidup ini, menjadi seorang ibu yang harus mengasuh kedua anaknya sekaligus menjadi ayah yang haruslah mencari nafkah untuk makan sehari-hari.

Bencinya aku pada ayahku melebihi kemampuanku untuk membenci orang. Kehadirannya telah aku buang jauh-jauh dari hidupku. Kini hidupku tidak bisa dikatakan lagi memiliki keluarga. Karena hanya kami bertiga saja yang memiliki hubungan darah yang haruslah hidup disebuah kampung nan terpencil di kaki gunung Geulis. Selain cantik, ibuku sangatlah hebat. Goreng pisang buatannya lebih enak daripada kue brownies bertabur coklat sekalipun. Itulah mengapa hingga saat ini kami masih bisa hidup. Berbeda dengan wajah ibu, ayahku sangatlah jelek. Ia pria berambut awut-awutan, berhidung bengkok dan berbibir tebal. Aku kira ibuku kena pelet oleh pria yang tidak seharusnya aku sebut sebagai bapak itu hingga akhirnya ibuku mau saja menikah dengannya. Nasib ibu sungguh sangatlah sial dan nasib ayahku sungguhlah celaka dua belas.

Ibuku adalah pekerja keras. Subuh subuh setelah membangunkanku dan adikku, Ia ke dapur mulai sibuk dengan adonan goreng pisang agar bisa aku bawa ke sekolah. Hari ini ibuku berpesan kepadaku bahwa goreng pisangnya harus laku semua, karena katanya persediaan beras dirumah sudah mulai habis. Nino adikku sudah dua hari ini terbaring lemas karena demam tinggi yang menderanya. Kata ibuku Nino harus segera di bawa ke puskesmas. Aku menyarankan kepada ibu agar nanti sepulang sekolah aku harus juga berjualan keliling kampung agar mendapat uang lebih.

Aku tidak bisa berbohong bahwa karena kecantikan ibuku, sudah banyak pria-pria kampung yang ingin mengawinkan ibuku atau menurutku lebih niat menidurinya saja. Namun aku tak menyukainya lantaran aku takut ibu di tinggal lagi dan rasanya aku tak sanggup punya seorang bapak tiri begitu alasanku kepada ibuku setiap kali. Aku memang harus egois karena memang aku sangat menyayangi ibuku. Beliau sudah kuanggap separuh badanku. Jika ia sakit, maka dipastikan aku juga akan sakit.

Kau tentu belum tahu siapa nama ibuku kan? Kau pasti tertarik ingin melihatnya. Ia berkulit putih, bermata lentik dan berbibir tipis. Ia bernama Sholeha, nama yang cocok sekali dari kakekku. Kulitnya tak pernah kering oleh basuhan air wudhu. Suaranya juga indah kala membaca kitab sehabis magrib setiap petang. Ibuku sungguh orang yang sangat tahu agama, oleh karena itu aku sangat mengaguminya.

Hari ini Ibu tampak uring-uringan. Aku sungguh merasa bersalah kepadanya, beberapa hari ini aku pulang sekolah dengan banyak sisa pisang goreng yang tak laku. Aku pasti yakin seratus persen bahwa pisang goreng ibuku masihlah tetap enak seperti dulu, tapi entah mengapa banyak pisang goreng yang tak laku-laku. Apa iya orang-orang sudah mulai bosan. Adikku juga semakin pucat, obat puskesmas rasanya kebal dengannya. Setiap makanan yang ia telan, habis lagi ia muntahkan. Rasanya sakit Nino parah sekali.

Esoknya aku memutuskan bolos sekolah agar bisa berjualan pisang goreng ke kampung seberang. Aku harap ini tidak sia-sia. Pisang gorengku harus habis hari ini targetku. Sudah 2 Km aku berjalan menjunjung nampan berisi pisang goreng ibuku berkeliling kampung sambil berteriak-teriak keras. Dalam hati aku berbisik ya Tuhan tolong beri kami rezeki. Usahaku memang menarik minat banyak penduduk desa terutama kaum-kaum bapakku, namun pisang gorengku tak juga-juga beranjak dari jumlah awal sejak dari rumah. Pria-pria kampung ini lebih banyak tertarik dengan ibuku daripada pisang goreng ibuku. Setiap mereka bertanya tentang ibuku, ingin rasanya aku menampar mereka namun sayang tanganku masih terlalu kecil untuk menampar muka badak mereka.

Aku pulang dengan banyak pisang goreng sisa lagi. Ku ceritakan uneg-unegku tadi kepada ibuku. Ibuku hanya banyak menyuruhku beristigfar. Sungguhkah ibu tak tahu bahwa aku sangat menyayanginya? Harusnya kau perlu tahu itu.

            Aku benci mendengar tetanggaku yang selalu berkeluh kesah tentang harga beras yang naik atau pemerintah yang tak peduli rakyatnya. Padahal kesulitan kami lebih sulit dari mereka. Sekarang saatnya aku harus memikirkan cara lain yang lebih baik dan aku harus mencari pekerjaan.

Sakit Nino mulai tampak berkurang, itu artinya sedikit berkurang beban hidup kami. Namun beberapa malam ini, kerap kali aku melihat ibu terbangun tengah malam, kadang aku melihatnya terisak-isak menangis dalam shalatnya atau duduk sendiri di kursi maha butut harta kami satu-satunya. Aku tak berani mengusiknya.

Aku masih belum menemukan pekerjaan yang cocok buatku. Aku berumur 10 tahun sedangkan adikku berumur 7 tahun. Kira-kira perkerjaan apa yang cocok dan halal yang pantas buat kami? Tentu saja pekerjaannya juga harus menghasilkan duit yang banyak.

Ibu hari ini kelihatan tidak sedang cantik. Rambut panjang hitamnya tampak kusut masai, tampak juga beberapa keriput disudut bawah matanya dan Ia pun makin uring-uringan.  Seringkali ibu melihat aku dan Nino secara bergantian dengan mata yang berkaca-kaca. Ibu sungguh nampak aneh hari ini.

Aku tidak segera mengetahui apa kira-kira pekerjaan yang cocok untukku, namun rupanya ibu lebih dulu menemukannya malam itu. Dihadapan kami ibu mengutarakan keinginannya untuk mencari pekerjaan lain diluar rumah. Katanya ia telah meminjam sejumlah uang untuk berangkat mengunjungi teman lamanya di Semarang.

Besoknya subuh-subuh kami berangkat menggunakan bus ekonomi tujuan Semarang dengan modal uang pinjaman ibu. Karena ini merupakan hal yang baru bagi aku dan Nino, kami tampaknya sangat menikmati perjalanan ini walaupun bus ini tampak penuh sesak. Aku tak henti-hentinya melihat hal-hal baru, banyak mobil yang berkeliaran hilir mudik. Ada yang besar dan juga kecil. Nino saaat ini telah tertidur keletihan, rupanya suasana gembira hatinya sungguh tak tertahankan lagi oleh kondisi fisiknya. Sejak dari awal keberangkatan, ibu memeluk kami. Aku merasa sungguh sangat nyaman dipeluknya.

Ibu memang tampak aneh, itu yang mataku tangkap. Ibu hari ini tampak memanjakan kami. Sudah beberapa batang coklat dan berbutir permen masuk ke dalam perutku. Ibu juga mengusap keningku tak henti-hentinya. Sungguh aku akan sangat berbahagia sekali apabila keadaan ini bisa berlangsung semakin lama. Beberapa kota telah kami lewati, aku baru mengenal dari plat jalan ada nama kota seperti Cirebon, Garut ataupun Semarang. Ibu tak henti-hentinya berbicara kepadaku, ia bercerita tentang beberapa daerah baru yang baru aku kenal dan tak lupa kadang iya berpesan agar aku selalu menjaga adikku serta jangan berkelahi dengan adikku. Kami memang sering berkelahi tetapi sesungguhnya aku sangat sayang adikku. 

Aku tidak tahu sudah berapa lama bus ini membawa kami ke Semarang karena aku tidak memiliki jam tangan. Sepertinya Semarang adalah kota yang sangat jauh dari kampungku. Aku sempat berpikir bagaimana nanti pulang ke kampung jika aku tidak punya uang lagi. Aku juga sudah lelah seperti adikku dan aku harap agar segera sampai.

Memang sudah puluhan orang yang naik turun bus ini, tapi bus ini masih tetap saja penuh sesak. Akhirnya sang kondektur bus berteriak jika kota Semarang telah sampai. Aku menarik napas lega luar biasa. Segera ibu bangunkan Nino dari tidur lelapnya. Aku, ibuku juga Nino melangkah meninggalkan bus itu, sekarang kami telah berada di sebuah terminal.

Perjalanan yang cukup jauh ini sangatlah melelahkan. Nino merasa kehausan, begitu juga dengan aku. Namun persediaan air minum yang kami bawa dari rumah telah habis diperjalanan tadi. Ibu meminta aku menjaga Nino sedangkan ibu akan pergi sebentar untuk membeli minuman. Aku dan Nino duduk disebuah bangku panjang berpayungkan beringin raksasa yang menjulang tinggi mencakar langit.

Sepotong coklat kini tinggal bungkusnya saja, entah kemana lenyapnya dibawa semut-semut nakal itu. Itu berarti kami sudah menunggu ibu cukup lama. Nino semakin kehausan. Aku berusaha menenangkan Nino untuk lebih sabar menunggu ibu. Tapi sekarang aku menjadi ragu, sudah lebih 2 jam aku dan Nino menunggu di bangku ini. Namun ibu tak juga muncul dengan botol air minum di tangannya. Nino bertanya dimana ibu sekarang. Hatiku semakin resah bukan karena Nino yang kehausan tapi karena memikirkan dimana ibu. Aku meninggalkan Nino sendirian bermaksud menyusul ibu.

Lama mataku merayap kesana-kemari berkeliling di terminal, namun aku tak mendapati sosok ibuku. Entah berapa orang yang telah kutanyai, barangkali mereka tahu dimana ibuku berada. Tapi tak seorangpun mengetahuinya. Hingga kutemui seorang supir bus yang kebetulan pernah melihat ibu. Kujelaskan padanya ciri-ciri yang dimiliki ibuku agar lebih memudahkannya mengingat sosok wanita yang kucari ini. Singkat ia mengatakan bahwa beberapa jam yang lalu ia pernah melihat seorang ibu-ibu naik bus jurusan Bandung sambil menangis terisak-isak.

Mendengar kata-katanya aku tersentak kaget. Aku pun tak langsung percaya, seperti yang ibuku katakan bahwa aku tidak boleh langsung percaya pada orang yang baru aku kenal. Aku yakin ibu tidak mungkin meninggalkan aku dan Nino disini. Bergegas aku menghampiri Nino dan membongkar semua isi tas yang ibu titipkan padaku. Didalam bungkus roti coklat itu kudapati secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dan juga terdapat uang didalamnya. aku menitikkan kristal mataku. Sungguh sulit dipercaya, ibu telah meninggalkan kami di tempat yang sangat asing ini. Berbekal uang dan secarik alamat yang ibu tinggalkan, kami pun segera mendatangi tempat itu, berharap akan bertemu ibu disana.

Lagi-lagi aku dan Nino terkejut, aku bertanya pada mas tukang ojek yang membawa kami meninggalkan terminal. Apa benar ini alamat yang sama dengan yang tertulis di kertas itu. Mas ojek pun mengangguk dan kemudian langsung pergi meninggalkan kami dengan kepulan asap hitam motornya yang mungkin sudah berabad tidak mencicipi yang namanya servis.

Sebuah bangunan yang usang namun untungnya masih terawat. Awalnya kupikir ini rumah saudara jauh ibuku. Bangunan yang sama usianya dengan ibuku, bermandikan putihnya tinta hingga memberikan kedamaian pada setiao orang yang berada di dekatnya. Lamunanku kini berpusat pada pandanganku yang tertuju pada sebuah papan yang bertuliskan ”PANTI ASUHAN”. Aku langsung syok saat membacanya. Ibu, mengapa kau tinggalkan kami disini dan sekarang mengapa kau  titipkan kami di panti asuhan ini? batinku bicara.

3 bulan kemudian......

Sebuah pemberitaan mengabarkan bahwa ada seorang PSK berusia sekitar 30 tahun yang meninggal dunia karena overdosis. Dan ia bernama Sholeha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar