Ibuku sangatlah cantik sedangkan
ayahku adalah orang yang sungguh teramat bodoh. Itulah kata-kata yang sengaja
aku benam dalam benakku sepuluh tahun ini. Ayahku yg bodoh telah pergi sejak
dulu bersama dengan seorang wanita yg dianggapnya lebih cantik daripada ibuku.
Ia meninggalkanku, ibuku dan juga adikku yang saat itu masih belum genap
berumur tujuh bulan di dalam perut ibuku. Ayahku sangatlah brengsek, sebrengsek
tingkah lakunya kepada kami. Kini ibu harus menanggung beban ganda hidup ini, menjadi
seorang ibu yang harus mengasuh kedua anaknya sekaligus menjadi ayah yang
haruslah mencari nafkah untuk makan sehari-hari.
Bencinya aku pada ayahku melebihi
kemampuanku untuk membenci orang. Kehadirannya telah aku buang jauh-jauh dari
hidupku. Kini hidupku tidak bisa dikatakan lagi memiliki keluarga. Karena hanya
kami bertiga saja yang memiliki hubungan darah yang haruslah hidup disebuah
kampung nan terpencil di kaki gunung Geulis. Selain cantik, ibuku sangatlah
hebat. Goreng pisang buatannya lebih enak daripada kue brownies bertabur coklat
sekalipun. Itulah mengapa hingga saat ini kami masih bisa hidup. Berbeda dengan
wajah ibu, ayahku sangatlah jelek. Ia pria berambut awut-awutan, berhidung
bengkok dan berbibir tebal. Aku kira ibuku kena pelet oleh pria yang tidak seharusnya aku sebut sebagai bapak itu
hingga akhirnya ibuku mau saja menikah dengannya. Nasib ibu sungguh sangatlah
sial dan nasib ayahku sungguhlah celaka dua belas.
Ibuku adalah pekerja keras. Subuh
subuh setelah membangunkanku dan adikku, Ia ke dapur mulai sibuk dengan adonan
goreng pisang agar bisa aku bawa ke sekolah. Hari ini ibuku berpesan kepadaku
bahwa goreng pisangnya harus laku semua, karena katanya persediaan beras
dirumah sudah mulai habis. Nino adikku sudah dua hari ini terbaring lemas
karena demam tinggi yang menderanya. Kata ibuku Nino harus segera di bawa ke
puskesmas. Aku menyarankan kepada ibu agar nanti sepulang sekolah aku harus
juga berjualan keliling kampung agar mendapat uang lebih.
Aku tidak bisa berbohong bahwa
karena kecantikan ibuku, sudah banyak pria-pria kampung yang ingin mengawinkan
ibuku atau menurutku lebih niat menidurinya saja. Namun aku tak menyukainya
lantaran aku takut ibu di tinggal lagi dan rasanya aku tak sanggup punya
seorang bapak tiri begitu alasanku kepada ibuku setiap kali. Aku memang harus
egois karena memang aku sangat menyayangi ibuku. Beliau sudah kuanggap separuh
badanku. Jika ia sakit, maka dipastikan aku juga akan sakit.
Kau tentu belum tahu siapa nama
ibuku kan? Kau pasti tertarik ingin melihatnya. Ia berkulit putih, bermata
lentik dan berbibir tipis. Ia bernama Sholeha, nama yang cocok sekali dari
kakekku. Kulitnya tak pernah kering oleh basuhan air wudhu. Suaranya juga indah
kala membaca kitab sehabis magrib setiap petang. Ibuku sungguh orang yang
sangat tahu agama, oleh karena itu aku sangat mengaguminya.
Hari ini Ibu tampak uring-uringan.
Aku sungguh merasa bersalah kepadanya, beberapa hari ini aku pulang sekolah
dengan banyak sisa pisang goreng yang tak laku. Aku pasti yakin seratus persen
bahwa pisang goreng ibuku masihlah tetap enak seperti dulu, tapi entah mengapa
banyak pisang goreng yang tak laku-laku. Apa iya orang-orang sudah mulai bosan.
Adikku juga semakin pucat, obat puskesmas rasanya kebal dengannya. Setiap
makanan yang ia telan, habis lagi ia muntahkan. Rasanya sakit Nino parah
sekali.
Esoknya aku memutuskan bolos sekolah
agar bisa berjualan pisang goreng ke kampung seberang. Aku harap ini tidak
sia-sia. Pisang gorengku harus habis hari ini targetku. Sudah 2 Km aku berjalan
menjunjung nampan berisi pisang goreng ibuku berkeliling kampung sambil
berteriak-teriak keras. Dalam hati aku berbisik ya Tuhan tolong beri kami
rezeki. Usahaku memang menarik minat banyak penduduk desa terutama kaum-kaum
bapakku, namun pisang gorengku tak juga-juga beranjak dari jumlah awal sejak dari
rumah. Pria-pria kampung ini lebih banyak tertarik dengan ibuku daripada pisang
goreng ibuku. Setiap mereka bertanya tentang ibuku, ingin rasanya aku menampar
mereka namun sayang tanganku masih terlalu kecil untuk menampar muka badak
mereka.
Aku pulang dengan banyak pisang
goreng sisa lagi. Ku ceritakan uneg-unegku tadi kepada ibuku. Ibuku hanya
banyak menyuruhku beristigfar. Sungguhkah ibu tak tahu bahwa aku sangat
menyayanginya? Harusnya kau perlu tahu itu.
Aku
benci mendengar tetanggaku yang selalu berkeluh kesah tentang harga beras yang
naik atau pemerintah yang tak peduli rakyatnya. Padahal kesulitan kami lebih
sulit dari mereka. Sekarang saatnya aku harus memikirkan cara lain yang lebih
baik dan aku harus mencari pekerjaan.
Sakit Nino mulai tampak berkurang,
itu artinya sedikit berkurang beban hidup kami. Namun beberapa malam ini, kerap
kali aku melihat ibu terbangun tengah malam, kadang aku melihatnya terisak-isak
menangis dalam shalatnya atau duduk sendiri di kursi maha butut harta kami
satu-satunya. Aku tak berani mengusiknya.
Aku masih belum menemukan pekerjaan
yang cocok buatku. Aku berumur 10 tahun sedangkan adikku berumur 7 tahun. Kira-kira
perkerjaan apa yang cocok dan halal yang pantas buat kami? Tentu saja
pekerjaannya juga harus menghasilkan duit yang banyak.
Ibu hari ini kelihatan tidak sedang
cantik. Rambut panjang hitamnya tampak kusut masai, tampak juga beberapa
keriput disudut bawah matanya dan Ia pun makin uring-uringan. Seringkali ibu melihat aku dan Nino secara
bergantian dengan mata yang berkaca-kaca. Ibu sungguh nampak aneh hari ini.
Aku tidak segera mengetahui apa
kira-kira pekerjaan yang cocok untukku, namun rupanya ibu lebih dulu
menemukannya malam itu. Dihadapan kami ibu mengutarakan keinginannya untuk
mencari pekerjaan lain diluar rumah. Katanya ia telah meminjam sejumlah uang
untuk berangkat mengunjungi teman lamanya di Semarang.
Besoknya subuh-subuh kami berangkat
menggunakan bus ekonomi tujuan Semarang dengan modal uang pinjaman ibu. Karena
ini merupakan hal yang baru bagi aku dan Nino, kami tampaknya sangat menikmati
perjalanan ini walaupun bus ini tampak penuh sesak. Aku tak henti-hentinya
melihat hal-hal baru, banyak mobil yang berkeliaran hilir mudik. Ada yang besar
dan juga kecil. Nino saaat ini telah tertidur keletihan, rupanya suasana
gembira hatinya sungguh tak tertahankan lagi oleh kondisi fisiknya. Sejak dari
awal keberangkatan, ibu memeluk kami. Aku merasa sungguh sangat nyaman
dipeluknya.
Ibu memang tampak aneh, itu yang
mataku tangkap. Ibu hari ini tampak memanjakan kami. Sudah beberapa batang
coklat dan berbutir permen masuk ke dalam perutku. Ibu juga mengusap keningku
tak henti-hentinya. Sungguh aku akan sangat berbahagia sekali apabila keadaan
ini bisa berlangsung semakin lama. Beberapa kota telah kami lewati, aku baru
mengenal dari plat jalan ada nama kota seperti Cirebon, Garut ataupun Semarang.
Ibu tak henti-hentinya berbicara kepadaku, ia bercerita tentang beberapa daerah
baru yang baru aku kenal dan tak lupa kadang iya berpesan agar aku selalu
menjaga adikku serta jangan berkelahi dengan adikku. Kami memang sering
berkelahi tetapi sesungguhnya aku sangat sayang adikku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama bus
ini membawa kami ke Semarang karena aku tidak memiliki jam tangan. Sepertinya
Semarang adalah kota yang sangat jauh dari kampungku. Aku sempat berpikir
bagaimana nanti pulang ke kampung jika aku tidak punya uang lagi. Aku juga
sudah lelah seperti adikku dan aku harap agar segera sampai.
Memang sudah puluhan orang yang naik
turun bus ini, tapi bus ini masih tetap saja penuh sesak. Akhirnya sang
kondektur bus berteriak jika kota Semarang telah sampai. Aku menarik napas lega
luar biasa. Segera ibu bangunkan Nino dari tidur lelapnya. Aku, ibuku juga Nino
melangkah meninggalkan bus itu, sekarang kami telah berada di sebuah terminal.
Perjalanan yang cukup jauh ini
sangatlah melelahkan. Nino merasa kehausan, begitu juga dengan aku. Namun
persediaan air minum yang kami bawa dari rumah telah habis diperjalanan tadi. Ibu
meminta aku menjaga Nino sedangkan ibu akan pergi sebentar untuk membeli
minuman. Aku dan Nino duduk disebuah bangku panjang berpayungkan beringin
raksasa yang menjulang tinggi mencakar langit.
Sepotong coklat kini tinggal
bungkusnya saja, entah kemana lenyapnya dibawa semut-semut nakal itu. Itu
berarti kami sudah menunggu ibu cukup lama. Nino semakin kehausan. Aku berusaha
menenangkan Nino untuk lebih sabar menunggu ibu. Tapi sekarang aku menjadi ragu,
sudah lebih 2 jam aku dan Nino menunggu di bangku ini. Namun ibu tak juga
muncul dengan botol air minum di tangannya. Nino bertanya dimana ibu sekarang. Hatiku
semakin resah bukan karena Nino yang kehausan tapi karena memikirkan dimana
ibu. Aku meninggalkan Nino sendirian bermaksud menyusul ibu.
Lama mataku merayap kesana-kemari berkeliling
di terminal, namun aku tak mendapati sosok ibuku. Entah berapa orang yang telah
kutanyai, barangkali mereka tahu dimana ibuku berada. Tapi tak seorangpun
mengetahuinya. Hingga kutemui seorang supir bus yang kebetulan pernah melihat
ibu. Kujelaskan padanya ciri-ciri yang dimiliki ibuku agar lebih memudahkannya
mengingat sosok wanita yang kucari ini. Singkat ia mengatakan bahwa beberapa
jam yang lalu ia pernah melihat seorang ibu-ibu naik bus jurusan Bandung sambil
menangis terisak-isak.
Mendengar kata-katanya aku tersentak
kaget. Aku pun tak langsung percaya, seperti yang ibuku katakan bahwa aku tidak
boleh langsung percaya pada orang yang baru aku kenal. Aku yakin ibu tidak
mungkin meninggalkan aku dan Nino disini. Bergegas aku menghampiri Nino dan
membongkar semua isi tas yang ibu titipkan padaku. Didalam bungkus roti coklat
itu kudapati secarik kertas bertuliskan sebuah alamat dan juga terdapat uang
didalamnya. aku menitikkan kristal mataku. Sungguh sulit dipercaya, ibu telah
meninggalkan kami di tempat yang sangat asing ini. Berbekal uang dan secarik
alamat yang ibu tinggalkan, kami pun segera mendatangi tempat itu, berharap
akan bertemu ibu disana.
Lagi-lagi aku dan Nino terkejut, aku
bertanya pada mas tukang ojek yang membawa kami meninggalkan terminal. Apa
benar ini alamat yang sama dengan yang tertulis di kertas itu. Mas ojek pun
mengangguk dan kemudian langsung pergi meninggalkan kami dengan kepulan asap hitam
motornya yang mungkin sudah berabad tidak mencicipi yang namanya servis.
Sebuah bangunan yang usang namun
untungnya masih terawat. Awalnya kupikir ini rumah saudara jauh ibuku. Bangunan
yang sama usianya dengan ibuku, bermandikan putihnya tinta hingga memberikan
kedamaian pada setiao orang yang berada di dekatnya. Lamunanku kini berpusat
pada pandanganku yang tertuju pada sebuah papan yang bertuliskan ”PANTI
ASUHAN”. Aku langsung syok saat membacanya. Ibu, mengapa kau tinggalkan kami disini
dan sekarang mengapa kau titipkan kami di
panti asuhan ini? batinku bicara.
3 bulan kemudian......
Sebuah pemberitaan mengabarkan bahwa
ada seorang PSK berusia sekitar 30 tahun yang meninggal dunia karena overdosis. Dan ia bernama Sholeha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar